
Polri Instruksikan Perlindungan Insan Pers, Tapi Luka Lama Belum Pulih
Polisi Janji Lindungi Jurnalis, Ini Bukti Data Kekerasan Yang Sebaliknya; Tiap Tahun Wartawan Jadi Korban!

Arahan itu disampaikan setelah muncul rentetan kasus kekerasan terhadap jurnalis oleh oknum polisi dalam beberapa hari terakhir.
“Meminta kepada seluruh jajaran melindungi kerja profesi wartawan dan jurnalis yang objektif dan profesional serta bekerja sama dalam setiap aktivitas,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko, Selasa, 26 Agustus 2025.
Trunoyudo menekankan bahwa media massa adalah mitra strategis Polri. Selain menyebarkan informasi mengenai kinerja kepolisian, media juga menjadi saluran literasi publik terkait pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas).
“Pers berperan besar dalam menyampaikan program pelayanan publik dan strategi Polri secara profesional,” ujarnya.
Lihat juga: Oknum Polisi Aniaya Wartawan Tempo Jamal Abdul Naser Saat Peringatan Mayday, Begini Kronologisnya
Rentetan Kekerasan yang Mengganggu
Imbauan resmi Polri ini muncul dalam konteks yang muram.
Imbauan resmi Polri ini muncul dalam konteks yang muram.
Beberapa pekan terakhir, sejumlah wartawan di berbagai daerah mengalami intimidasi hingga kekerasan fisik saat meliput aksi demonstrasi maupun penggerebekan.
Dalam kasus-kasus tersebut, kamera dirampas, rekaman dihapus, bahkan ada jurnalis yang mengalami luka akibat tindakan represif aparat.
Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat, kekerasan terhadap wartawan kerap berulang, dengan pola serupa: terjadi saat polisi berhadapan dengan massa aksi.
Meski UU Pers 1999 menegaskan bahwa wartawan dilindungi hukum, implementasi di lapangan sering kali terhambat oleh rendahnya pemahaman aparat tentang kebebasan pers.
Luka Lama Hubungan Polisi–Pers
Hubungan antara polisi dan jurnalis memang punya sejarah panjang yang tak selalu harmonis.
Di era reformasi, setidaknya sejak demonstrasi besar 1998, kekerasan terhadap wartawan selalu mencuat saat terjadi kericuhan.
Pada 2019, misalnya, beberapa wartawan di Jakarta mengalami kekerasan ketika meliput aksi protes menolak revisi Undang-Undang KPK.
Kamera dihancurkan, kartu pers tak diindahkan, bahkan ada yang ditangkap tanpa alasan jelas. Kasus-kasus serupa terjadi di Medan, Makassar, dan Surabaya dalam kurun waktu berbeda.
Mabes Polri kerap merespons dengan imbauan atau janji evaluasi. Namun, tanpa sanksi internal yang nyata, kepercayaan publik pada komitmen perlindungan wartawan sulit pulih.
Imbauan atau Instruksi?
Pengamat media dari Universitas Indonesia, Neni Sri Irawati, menilai instruksi Polri kali ini penting, tetapi belum cukup. “Imbauan ini harus disertai mekanisme kontrol yang ketat. Jika tidak, ia hanya menjadi pernyataan retoris tanpa efek jera bagi pelaku,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa Polri perlu memasukkan materi kebebasan pers dalam kurikulum pendidikan kepolisian. Dengan begitu, pemahaman tentang kerja jurnalistik bisa tertanam sejak awal karier seorang polisi.
Tantangan bagi Pers
Di sisi lain, media juga menghadapi tantangan internal: menjaga profesionalitas.
Masih ada oknum wartawan abal-abal yang mengaku jurnalis untuk mencari keuntungan pribadi, sehingga memicu ketegangan di lapangan.
Hal ini kerap dijadikan alasan pembenaran aparat untuk bersikap keras terhadap jurnalis.
Namun, organisasi profesi seperti AJI dan PWI menegaskan, kasus oknum tidak boleh menjadi dalih untuk melanggar hak wartawan yang sah.
“Kebebasan pers adalah salah satu pilar demokrasi. Kekerasan terhadap jurnalis sama saja mengancam hak publik untuk tahu,” kata Ketua AJI Indonesia dalam pernyataan terpisah.
Jalan Panjang Perlindungan
Instruksi Mabes Polri agar jajarannya melindungi wartawan mungkin bisa meredakan kritik sesaat.
Namun, yang ditunggu publik adalah konsistensi. Apakah polisi akan menindak tegas anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan? Apakah akan ada mekanisme khusus pengaduan wartawan yang diproses cepat?
Sejarah menunjukkan, tanpa reformasi internal, janji perlindungan hanya berakhir sebagai berita harian—lalu dilupakan hingga kasus baru muncul.
Polri Instruksikan Perlindungan Wartawan: Analisis Data Kekerasan 2020–2024
Data Tahunan: Tren Kekerasan terhadap Jurnalis
Berikut catatan jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia selama lima tahun terakhir:
Berikut catatan jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia selama lima tahun terakhir:
Tahun | Jumlah Kasus Kekerasan | Catatan dan Konteks |
---|---|---|
2020 | ±56 kasus terdokumentasi dalam aksi penolakan UU Cipta Kerja; total kekerasan mencapai 84 kasus, dengan dominasi pelaku dari anggota polisi . | |
2021 | 43 kasus, lebih rendah dari sebelumnya; pola kekerasan bergeser ke ancaman digital dan intimidasi; polisi menjadi pelaku terbanyak (~12 kasus) . | |
2022 | Meningkat ke 61 kasus; kekerasan fisik dan perusakan perangkat dominan; digabung berbagai bentuk lainnya seperti serangan digital dan kekerasan berbasis gender . | |
2023 | Lonjakan tajam ke 86–89 kasus di lapangan; kekerasan fisik paling tinggi (~19 kasus); digital, intimidasi, dan jenis lainnya turut meningkat . | |
2024 | Meski ada penurunan jumlah, masih 73 jurnalis menjadi korban kekerasan, termasuk satu yang dibunuh . |
Pola Pelaku Kekerasan
Meskipun angka kekerasan turun dari puncaknya di 2023, situasi tetap mengkhawatirkan.
- 2020: Polisi dominan sebagai pelaku (58 kasus), disusul warga dan pelaku tidak dikenal .
- 2024: Pelaku kekerasan didominasi oleh aparat: polisi (19 kasus), TNI (11), warga sipil (11), serta pihak lain seperti pengusaha dan aparat pemerintah lokal .
- Tahun 2022 mencatat kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual dalam peliputan (3 kasus) .
- Data survei menyatakan 82,6% jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual baik daring maupun luring .
Meskipun angka kekerasan turun dari puncaknya di 2023, situasi tetap mengkhawatirkan.
Penurunan dari 89 ke 73 kasus menunjukkan sedikit mereda, namun kenyataan bahwa masih ada laporan pembunuhan, serta dominasi aparat sebagai pelaku, memperlihatkan reformasi belum menyentuh akar masalah.
Instruksi internal Polri untuk melindungi wartawan memang positif. Namun tanpa mekanisme transparan, pengawasan eksternal, dan penegakan hukum terhadap pelaku—khususnya aparat—perubahan substansial sulit terjadi. [■]
Rangkaian Artikel Dilengkapi dengan Statistika
Bagian investigatif ini dapat dipadu dengan narasi dan sumber wawancara—seperti pengamat media, korban kekerasan, dan data dari lembaga seperti AJI atau Komnas Perempuan—untuk memperkuat kredibilitas dan urgensi laporan.


Post a Comment
Silakan pos kan komentar Anda yang sopan dan harap tidak melakukan pelecehan apalagi yang berkaitan dengan SARA.
Terima kasih.
Wassalam
Redaktur BksOL