iklan banner AlQuran 30 Juz iklan header banner iklan header iklan header banner
Pasang Iklan Running Text Anda di sini atau bisa juga sebagai iklan headliner di atas (600x100)px

Menanggapi Berita Media, Tentang Ketidakhadiran Wako, Ini Kata Dicky

banner

Kepala Bappelitbangda Meluruskan Maksud Political Will Pemkot Pengawasan CSR Yang Belum Optimal


Dicky juga meluruskan tafsir yang sering keliru tentang CSR. “CSR itu wajib bagi perusahaan, tapi bukan pungutan oleh pemerintah seperti pajak atau retribusi. Itu bentuk kolaborasi pentahelix. Kalau bisa dioptimalkan, tentu bagus,” katanya kepada BekasiOL.

 — KOTA/KAB | Ketidakhadiran Walikota Bekasi, Tri Adhianto, dalam diskusi publik soal pengawasan dana Corporate Social Responsibility (CSR) bersama insan pers, Kamis (9/10), meninggalkan ruang kosong yang segera diisi dengan satire dan penjelasan birokratis.

Tri disebut tengah berada di Bandung, sementara ruang diskusi yang diadakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kota Bekasi justru ramai oleh perdebatan: antara idealisme transparansi dan tafsir atas “political will” sang kepala daerah.

Saat sumber rezeki CSR berubah jadi bahan baku kampanye, dan plakat Patriot lebih besar dari transparansi, padahal Kota Bekasi tak butuh bom atom, cukup bom janji politik yang meledak tiap lima tahun,” ujar Sidik Warkop, wartawan senior yang kini dikenal dengan satire-satire nya di forum publik.

Komentar itu biasa saja dan oleh perwakilan pemkot Bekasi pun dianggap sebagai opini jurnalis yang sah-sah saja.

Namun hal ini tetap menyulut respon serius dari Kepala Bappelitbangda Kota Bekasi, Dr. Dicky Irawan, yang belakangan dikenal piawai menyeimbangkan humor dan kebijakan.

“Saya Tidak Nyindir Siapa-siapa”
Dihubungi lewat pesan singkat WhatsApp, Dicky menegaskan tak merasa tersindir ataupun menyindir siapapun.

“Saya menjawab soal ‘bom atom’ bukan dalam konteks politik. Kalau mau saya bisa jawab no comment,” tulisnya dengan emoji senyum.

Menurutnya, inti dari perdebatan itu bukan pada guyonan Sidik Warkop melainkan soal prinsip dasar kebijakan publik.

“Secara teori, setiap kebutuhan bukan hanya soal teknis atau model, tapi soal policy. Dan policy itu pasti menyangkut political will,” jelasnya.

Dicky juga meluruskan tafsir yang sering keliru tentang CSR. “CSR itu wajib bagi perusahaan, tapi bukan pungutan oleh pemerintah seperti pajak atau retribusi. Itu bentuk kolaborasi pentahelix. Kalau bisa dioptimalkan, tentu bagus,” katanya kepada BekasiOL.

Sebagai catatan redaksi, Kolaborasi pentahelix (segi lima) adalah kerjasama antara lima matra.

Kolaborasi pentahelix adalah kerja sama antara lima elemen utama: Pemerintah (Government), Akademisi (Academician), Dunia Usaha (Business), Masyarakat / Komunitas (Community), dan Media (Media).

Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah kompleks dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan secara lebih efektif dan sinergis, yang dikenal juga dengan singkatan ABCGM.

Penjelasan lebih lanjut
Pemerintah:
Memiliki peran dalam membuat kebijakan, regulasi, dan menyediakan data.
Akademisi: Berkontribusi melalui pengetahuan, riset, dan inovasi.
Dunia Usaha (Bisnis): Berperan dalam implementasi, investasi, dan menciptakan peluang ekonomi.
Masyarakat (Komunitas): Merupakan aktor kunci yang akan merasakan manfaatnya, serta terlibat dalam sosialisasi dan partisipasi.
Media: Berfungsi sebagai sarana sosialisasi, penyebaran informasi, dan edukasi kepada publik secara luas.

Model ini dianggap lebih efektif daripada koordinasi biasa karena memanfaatkan kekuatan kolektif dari berbagai pihak dengan kepentingan yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama.

Forum Tanpa Kerangka, Sindiran Berbalas Literasi
Diskusi yang dihelat PWI Bekasi Raya dengan mendatangkan Pemkot dari perwakilan walikota dan sekda yang pada akhirnya juga didelegasikan oleh jenjang struktur organisasi pemkot, yakni Asda 2 serta Bappelitbangda.

Dikarenakan tanpa kerangka acuan itu dialog publik dan diskusi media tampak berubah arah menjadi adu tafsir antara birokrat, ormas dan jurnalis.

Sidik mengakui satire-nya sekadar “roasting ringan.” Dicky pun menanggapinya dengan santai, “Gak apa-apa, Pak. Roasting kan seru.”

Percakapan itu diakhiri dengan kalimat yang terdengar seperti doa publik:

Semoga literasi kita sebagai warga negara meningkat,” tulis Dicky.

Sementara Sidik menutup percakapan dengan kalimat menggigit:

“Intinya, sebagai Kepala Bappelitbangda, tugasnya memang membuat bom atom—tapi untuk kemaslahatan warga Bekasi. Setidaknya itu rancangan kebijakan, bukan janji politik yang meledak lima tahunan.”

CSR, Bukan Bom Waktu
Di luar ruang percakapan digital itu, isu CSR di Kota Bekasi memang tengah jadi perhatian.

Sejumlah ormas menyoroti lemahnya transparansi dan alur distribusi dana CSR dari perusahaan ke masyarakat.

Istilah BSR (Bekasi Social Responsibility) yang dulu sempat digaungkan kini berganti nama menjadi PTJSL (Pengawas Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan).

Namun, substansinya dinilai belum berubah banyak: programnya sering berhenti di papan plakat dan seremoni.

Dalam iklim politik yang makin panas jelang Pilkada, CSR di Bekasi bisa menjadi bom waktu — atau justru “bom atom” kebijakan, seperti sindiran Sidik Warkop, bila tidak dikelola dengan kehati-hatian dan transparansi.

Kutipan pilihan Sidik Warkop menutup wawancara: Di Bekasi, kalau mau cari ledakan, tak perlu uranium. Cukup janji kampanye yang belum tuntas, meledak tiap lima tahun. Tapi bukan itu masalah sebenarnya dari hasil diskusi media kemarin.”.

Karena dari diskusi media kemarin di gedung PWI, sebenarnya yang dibutuhkan adalah bagaimana mengemukakan kinerja pengawasan TJSL (CSR) perusahaan yang sedikitnya ada 400-440 nama bisnis di Kota Bekasi, sedangkan yang terhitung sudah melakukan kewajibannya baru 80-an perusahaan saja[■] 

Reporter: NMR Redaksi - Editor: DikRizal/JabarOL
👁️ Artikel ini telah dilihat oleh : 0 views.

Post a Comment

Silakan pos kan komentar Anda yang sopan dan harap tidak melakukan pelecehan apalagi yang berkaitan dengan SARA.
Terima kasih.
Wassalam
Redaktur BksOL

Previous Post Next Post
banner iklan BksOL